Pengertian Asbabun Nuzul

Asbabun nuzul atau sebab turunnya Al-Quran merupakan salah satu disiplin ilmu yang sangat penting untuk diketahui oleh siapa saja.

Terlebih, bagi yang ingin mentafsirkan Al-Quran dengan benar. Hukumnya wajib atas setiap mufassir al-Quran untuk memahami masalah Asbabun Nuzul.

Namun bagi kita orang awam tidak wajib untuk mempelajari secara mendalam masalah asbabun nuzul.

Tulisan berikut ini akan mengenalkan secara singkat tentang pengertian asbabun nuzul, urgensinya, sumbernya, contoh pentingnya asbabun nuzul dalam memahami makna suatu ayat serta daftar buku-buku terpenting yang telah dicetak tentang asbabun nuzul.

Pengertian Bahasa & Istilah

Pengertian Asbabun Nuzul dilihat dari segi bahasa dan istilah adalah sebagai berikut:

Secara bahasa

Kata أَسباب ‘asbaab’ merupakan bentuk jamak dari kata سَبَبٌ (sabab) yang berarti segala sesuatu yang menjadi sarana yang mengantarkan atau menyampaikan kepada yang lain.[i]

kalau dalam bahasa kita secara singkat bisa diartikan dengan kata: sebab.

Sedangkan kata نُزُول ‘Nuzuul’ adalah bentuk mashdar (kata benda yang dibentuk dari kata kerja) dari kata kerja نزَلَ , ‘nazala’. Kata نُزُول  merupakan bentuk jamak dari نَزْل “nazlun”. yang dalam bahasa kita bisa diartikan: turun.[ii]

Secara istilah

Yang dimaksud asbabun nuzul adalah sebab turunnya surat atau ayat al quran.

Adapun rinciandari pengertian tersebut sebagai berikut:

Pengertian Asbabun nuzul (sebab turunnya surat atau ayat al-Quran) adalah sebagai berikut: Sesuatu yang Al-Quran itu turun khusus berkaitan dengannya, saat terjadinya sesuatu tersebut, dalam bentuk adanya sebuah kejadian atau pertanyaan.”

Mabahits fi ‘ulumil Quran, Dr. Mana’ Qathan, Maktabah Wahbah, Kairo, 73-74.

Berikut penjelasan pengertian Asbabun Nuzul secara istilah menurut Syaikh Dr. Mana’ Qathan adalah terbatas pada dua perkara saja yaitu:

  1. Terjadi sebuah peristiwa lalu al-Quran turun secara khusus berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Misalnya, sebab turunnya surat Al-Lahab adalah ketika Nabi ﷺ menyeru keluarga dekatnya kepada Islam, salah satu yang hadir adalah pamannya bernama Abdul Uza bin Abdul Muthallib bin Hasyim yang terkenal dengan panggilan Abu Lahab.

Setelah Rasulullah ﷺ selesai menyampaikan seruannya, Abu Lahab mengumpat Nabi ﷺ dengan kata-kata, “Tabban laka” Binasalah kamu, Muhammad! hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami?” Ibnu ‘abbas rashiyallahu ‘anhuma berkata, ” Maka turunlah surat ini:

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. [Al-Lahab:1]

[Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim serta selain keduanya]

  1. Rasulullah ﷺ ditanya tentang sesuatu lalu al-Quran turun menjelaskan hukum persoalan tersebut.

Misalnya dahulu ada seorang shahabiyah (sahabat wanita) bernama Khaulah binti Tsa’labah, ketika suaminya yang bernama Aus bin Ash-Shamit melakukan zhihar (mengatakan, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku bagiku.” pent) kepadanya.

Maka Khaulah pun mendatangi Rasulullah ﷺ mengadukan persoalan tersebut kepada beliau.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata, “Maha Suci Allah yang Pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Aku benar-benar mendengar perkataan Khaulah binti Tsa’labah namun sebagian lainnya kurang jelas.

Dia mengadukan suaminya kepada Rasulullah ﷺ . Khaulah berkata, ”Wahai Rasulullah, dia telah menikmati masa mudaku dan aku pun telah memberinya anak hingga ketika aku mulai tua dan tidak memiliki anak lagi dia menzhiharku. Ya Allah, sungguh aku mengadu kepada-Mu.”

Tak lama kemudian turunlah jibril dengan ayat-ayat tersebut:

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

[Hadits riwayat Ibnu Majah, Ibnu Abi Hatim dan Al-Hakim dan dia menyatakannya sebagai hadits shahih, juga Ibnu Al-Mardawaih dan Al Baihaqi.”]

Ini bukan berarti seseorang harus mencari sebab turun dari setiap ayat. Sesungguhnya al-Quran turunnya bukan semata untuk mensikapi satu kejadian atau peristiwa.

Bukan pula sekedar untuk menjawab sebuah pertanyaan, namun al-Quran turun sejak semula (tanpa sebab tertentu) dengan akidah iman, kewajiban-kewajiban dalam Islam, syariat-syariat Allah dalam kehidupan individu dan masyarakat.

Al-Ja’bari berkata, ”Al-Quran turun dalam dua bagian: pertama turun sejak semula (tanpa ada sebab apapun). Kedua turun setelah terjadinya suatu peristiwa atau adanya pertanyaan.” [Al-Itqan: 1/28]

Oleh karenanya, pengertian sababun nuzul (sebab turunnya surat atau ayat al-Quran) adalah sebagai berikut: Sesuatu yang Al-Quran itu turun khusus berkaitan dengannya, saat terjadinya sesuatu tersebut, dalam bentuk adanya sebuah kejadian atau pertanyaan.”[iii]

Sumber Mengetahui Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul tidak mungkin bersumber dari ijtihad atau pendapat karena ia adalah perkara yang terjadi dan suatu ayat atau surat dalam al-Quran itu turun berkenaan dengannya.

Al-Wahidi telah menyebutkan bahwa sumber asbabun nuzul adalah riwayat dan sima’ (mendengarkan secara langsung) dari orang-orang yang hidup sezaman dengan turunnya al-Quran, mereka memiliki ilmu terkait sebab-sebab tersebut dan mencarinya.

Al-Wahidi berkata, ”Tidak halal berbicara tentang asbabun nuzul kecuali berdasarkan riwayat dan mendengarkan (langsung) dari orang-orang yang menyaksikan turunnya Al-Quran, serta mengetahui masalahnya dan mengamalkan apa yang menjadi isinya.”[iv]

Dengan demikian sumber mengetahui asbabun Nuzul adalah para sahabat Nabi ﷺ yang menyaksikan atau mengetahui secara langsung turunnya suatu ayat atau surat dalam al-Quran al-karim.

Urgensi Memahami Asbabun Nuzul

Di antara urgensi dari memahami asbabun nuzul adalah sebagai berikut:

  1. Melalui asbabun nuzul memungkinkan untuk mengetahui makna yang dikehendaki karena adanya kaitan antara sebab dengan akibat.
  2. Memungkinkan untuk mengetahui hikmah yang terkandung di balik pensyariatan hukum sehingga lebih mendorong untuk memahami dan menerima hukum tersebut.
  3. Menghilangkan sesuatu yang sulit dipahami dari zhahir sebuah ayat.

Sebagai contoh, Marwan bin Al-Hakam sulit memahami makna firman Allah Ta’ala,

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih. [Ali-imran: 188]

Marwan bin Al-Hakam bekata, ”Bila setiap orang merasa senang dengan apa yang diberikan kepadanya dan suka dipuji dengan apa yang tidak dia lakukan itu akan disiksa, maka semua orang benar-benar akan disiksa.”

Kemudian Ibnu ‘Abbas menjelaskan kepadanya bahwa ayat tersebut turun dalam kaitannya dengan Ahli Kitab. Yakni, ketika Nabi ﷺ bertanya kepada mereka tentang sesuatu lantas mereka menyembunyikan hal tersebut dari Nabi ﷺ.

Mereka lalu memberitahu Nabi ﷺ dengan hal lainnya dan mereka memperlihatkan kepada Nabi ﷺ bahwa mereka telah memberitahu beliau tentang sesuatu yang ditanyakan kepada mereka.[v]

Pentingnya Mufassir Memahami Asbabun Nuzul

Mengetahui asbabun nuzul merupakan keharusan bagi orang yang bergelut dengan ilmu al-Quran terutama dalam urusan mentafsirkan al-Quran.

Hal ini karena pengetahuan tentang asbabun nuzul akan membantu dalam mentafsirkan Al-Quran Al-Karim secara benar.

Para ulama dan ahli tafsir telah sepakat bahwa mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan membantu untuk menyingkap makna-makna ayat tersebut serta memperjelasnya dan mengetahui hakikat-hakikatnya.

Ini karena terkadang suatu perkara itu terlihat rumit bagi sang mufassir dan dia tidak mampu untuk memahami dalalah (penunjukkan ) suatu ayat (mengarah kepada apa) atau dia memahami ayat itu dengan gambaran yang berbeda dari hakikatnya.

Namun, dengan mengetahui sebab turunnya ayat seringkali memudahkan tugasnya dalam mentafsirkan ayat al Quran dan membuat makna ayat tersebut menjadi jelas dan gamblang di hadapannya.[vi]

Perkataan Para Ulama Tentang Asbabun Nuzul

Di antara perkataan ulama tentang asbabun nuzul adalah sebagai berikut:

  1. Al Wahidi berkata, ”Tidak mungkin kita dapat menafsirkan ayat tanpa mengetahui kisah ayat tersebut atau mendapatkan kejelasan tentang sebab turunnya.”
  2. Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata, ”Menjelaskan sebab turunnya ayat merupakan cara yang kuat (efektif) dalam memahami makna-makna al-Quran.
  3. Ibnu Taimiyah dalam mukadimah Ushul Tafsirnya mengatakan, ”Mengetahui sebab nuzul akan membantu dalam memahami ayat. Sesungguhnya ilmu tentang sebab itu akan membuahkan ilmu tentang musabab.”
  4. Imam As-Suyuthi mengatakan, ”Di antara faedah dari mengetahui sababun nuzul adalah menghindarkan kesalahpahaman dalam persoalan adanya pembatasan dalam suatu ayat.”

Contoh Salah Tafsir Tanpa Asbabun Nuzul

Ada sebuah peristiwa yang terjadi di masa Tabi’in yang menggambarkan adanya kesalahan dalam memahami ayat:

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [Al-Baqarah: 195]

karena tidak mengetahui sebab turunnya ayat.

 وروى الترمذي (2972) عَنْ أَسْلَمَ أَبِي عِمْرَانَ قَالَ : ( كُنَّا بِمَدِينَةِ الرُّومِ فَأَخْرَجُوا إِلَيْنَا صَفًّا عَظِيمًا مِنْ الرُّومِ ، فَحَمَلَ رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ عَلَى صَفِّ الرُّومِ حَتَّى دَخَلَ فِيهِمْ ، فَصَاحَ النَّاسُ وَقَالُوا : سُبْحَانَ اللَّهِ ! يُلْقِي بِيَدَيْهِ إِلَى التَّهْلُكَةِ !

 فَقَامَ أَبُو أَيُّوبَ الأَنْصَارِيُّ فَقَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّكُمْ تَتَأَوَّلُونَ هَذِهِ الآيَةَ هَذَا التَّأْوِيلَ ، وَإِنَّمَا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الآيَةَ فِينَا مَعْشَرَ الأَنْصَارِ ، لَمَّا أَعَزَّ اللَّهُ الإِسْلامَ ، وَكَثُرَ نَاصِرُوهُ ، فَقَالَ بَعْضُنَا لِبَعْضٍ سِرًّا دُونَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَمْوَالَنَا قَدْ ضَاعَتْ ، وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعَزَّ الإِسْلامَ ، وَكَثُرَ نَاصِرُوهُ ، فَلَوْ أَقَمْنَا فِي أَمْوَالِنَا فَأَصْلَحْنَا مَا ضَاعَ مِنْهَا ،

 فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرُدُّ عَلَيْنَا مَا قُلْنَا ( وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ) فَكَانَتْ التَّهْلُكَةُ الإِقَامَةَ عَلَى الأَمْوَالِ وَإِصْلاحِهَا ، وَتَرْكَنَا الْغَزْوَ . فَلَمْ يَزَلْ أَبُو أَيُّوبَ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى دُفِنَ بِالْقُسْطَنْطِينِيَّة

وصححه الألباني في “السلسلة الصحيحة” (13)

Imam At-tirmidzi (2972) meriwayatkan dari Aslam Abi Imran, dia berkata, “Kami pernah berada di salah satu kota di Romawi. Lantas datanglah pasukan Romawi dalam jumlah besar ke arah kami.

Kemudian salah seorang dari (pasukan) kaum Muslimin menerjang barisan tentara Romawi tersebut sendirian hingga masuk ke tengah pasukan mereka.

Orang-orang kemudian berteriak, ”Subhanallah! Dia telah melemparkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan!”

Maka berdirilah Abu Ayub Al-Anshari, lalu berkata, ”Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya kalian telah mentakwilkan ayat ini dengan takwil semacam itu. Sungguh, ayat ini turun dalam persoalan kami orang-orang Anshar.

Ketika Allah telah menjayakan Islam, penolongnya sudah banyak, maka sebagian dari kami berbicara dengan yang lain secara rahasia tanpa sepengetahuan Rasulullah ﷺ dengan mengatakan, ”Harta kita sudah lenyap, Allah telah menjayakan Islam serta banyak penolongnya. Andaikan saja kita mengurusi harta kita (memperbaiki keadaan ekonomi keluarga, pent) sehingga kita bisa mengembalikan harta yang telah sirna tersebut.”

Maka Allah menurunkan kepada Nabi-Nya ﷺ membantah apa yang kami katakan:

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”

Jadi kebinasaan itu adalah bila kami mengurusi harta dan mengembangkannya lalu meninggalkan jihad. Abu Ayub terus berjihad di jalan Allah hingga dikubur di Konstantinopel.” [Al-Albani menshahihkan hadits ini di dalam silsilah Ash-Shahihah: 13][vii]

Syaikh Abdul Azis Baz rahimahullah memberikan penjelasan menarik terkait ayat ini. Setelah menjelaskan sebab turunnya ayat ini beliau berkata, ” Jadi melemparkan diri sendiri ke dalam kebinasaan adalah meninggalkan jihad padahal memiliki kemampuan untuk berjihad.

Ayat ini bersifat umum. Kaidah syar’iyyah menyatakan: pengambilan pelajaran dari nash-nash itu berdasarkan keumuman lafazh-lafazhnya bukan berdasarkan kekhususan sebab-sebabnya. Maka, seseorang tidak diperbolehkan untuk melemparkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan.

Misalnya, terjun dari tempat yang tinggi lalu berkata, ”Aku bertawakal kepada Allah bahwa aku akan selamat.” Atau, minum racun lalu berkata, ”Aku bertawakal kepada Allah bahwa aku akan selamat.”

Atau membunuh dirinya sendiri dengan senjata lalu berkata, ”Aku bertawakal kepada Allah bahwa aku akan selamat.” Semua ini tidak boleh dilakukan. Dia harus menjauhi sebab-sebab kebinasaan dan melindungi diri dari sebab-sebab tersebut kecuali dengan jalan-jalan yang dibenarkan syariat seperti jihad dan yang semacam itu.”[viii]

Apa yang dilakukan oleh sang mujahid pemberani di masa Abu Ayub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu itu bukanlah kategori melemparkan diri ke dalam kebinasaan.

Sebab, hal itu dalam kerangka jihad di jalan Allah Ta’ala, untuk menggentarkan musuh-musuh kaum Muslimin dan melemahkan moral tempur mereka.

Buku Yang Membahas Asbabun Nuzul

Buku-buku tentang asbabun nuzul sangatlah banyak.

Berikut ini sejumlah buku yang direkomendasikan oleh Syaikh Dr. Abdurrahman bin Mu’adhah Asy-Syihri untuk dibaca, bila ingin memahami asbabun nuzul secara lebih mendalam dan luas:

  1. Asbaabu Nuzulil Quran, karya Imam Ali bin Ahmad Al-Wahidi (wafat 468 H).
  2. Al-‘Ujaab fi Bayaanil Asbaab, karya Al-Hafizh Al-Muhaddits Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani (wafat 852 H).
  3. Lubaabun Nuquul di Asbaabin Nuzuul, karya Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H).
  4. Tashiilul Wushuul la Ma’rifati Asbaabin Nuzuul, Karya Khalid Abdurrahman Al-‘Ak.
  5. Ash-Shahih Al-Musnad min Asbaabin Nuzuul, karya Syaikh Muqbil bi Hadi Al-Wadi’i.
  6. Al-isti’aab fi Bayaanil Asbaab, karya Salim Al-Hilali dan Muhammad Musa Alu Nashr. (Ensiklopedi terdiri dari 3 jilid, terbit tahun 1425 H).
  7. Al-Muharrar fi Asbaabi nuzuulil Quran fil Kutub At-Tis’ah, karya Dr. Khalid Al-Muzaini. [Aslinya adalah Disertasi Doktoral]
  8. Shahih Asbaabin Nuzuul, karya Ibrahim Muhammad Al-‘Ali. [Penulis membatasi hanya riwayat yang dia nilai shahih].
  9. Ash-Shahih min Asbaabin Nuzuul karya Dr. ‘Isham bin Abdul Muhsin Al-Humaidan.
  10. Al-Jami’ fi Asbaabin Nuzuul, Disusun oleh Hasan Abdul Mun’im Syalbi.

Itulah daftar buku tentang Asbaabun Nuzul yang telah dicetak.[ix]

Demikianlah pembahasan tentang pengertian Asbabun Nuzul. Semoga tulisan ini bisa menambah wawasan kita semuanya tentang beberapa persoalan terkait asbabun nuzul.

Bila ada kebenaran dalam tulisan ini maka itu dari Allah semata karena rahmat dan karunia-Nya dan bila ada kesalahan maka itu dari kami dan setan.

Allah dan rasul-Nya berlepas diri darinya. Semoga Allah Ta’ala berkenan mengampuni seluruh kesalahan kami dan kaum Muslimin.

Tulisan Asbabun Nuzul ini pertama kali diunggah pada 21 Juli 2021

Referensi


[i] https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D8%B3%D8%A8%D8%A8/

[ii] https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D9%86%D8%B2%D9%88%D9%84/

[iii] Mabahits fi ‘ulumil Quran, Dr.Mana’ Qathan, Maktabah Wahbah, Kairo, 73-74.

[iv]https://mawdoo3.com/%D8%A3%D8%B3%D8%A8%D8%A7%D8%A8_%D9%86%D8%B2%D9%88%D9%84_%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%B1%D8%A2%D9%86_%D8%A7%D9%84%D9%83%D8%B1%D9%8A%D9%85

[v] http://www.dar-islam.net/Detail.aspx?ArticleID=2

[vi]https://www.limaza.com/%D8%A3%D8%B3%D8%A8%D8%A7%D8%A8%D8%A7%D9%84%D9%86%D8%B2%D9%88%D9%84/

[vii]https://islamqa.info/ar/answers/117275/%D9%85%D8%B9%D9%86%D9%89%D9%82%D9%88%D9%84%D9%87%D8%AA%D8%B9%D8%A7%D9%84%D9%89%D9%88%D9%84%D8%A7%D8%AA%D9%84%D9%82%D9%88%D8%A7%D8%A8%D8%A7%D9%8A%D8%AF%D9%8A%D9%83%D9%85%D8%A7%D9%84%D9%89%D8%A7%D9%84%D8%AA%D9%87%D9%84%D9%83%D8%A9

[viii]https://binbaz.org.sa/fatwas/14385/%D8%AA%D9%81%D8%B3%D9%8A%D8%B1%D9%82%D9%88%D9%84%D9%87%D8%AA%D8%B9%D8%A7%D9%84%D9%89%D9%88%D9%84%D8%A7%D8%AA%D9%84%D9%82%D9%88%D8%A7%D8%A8%D8%A7%D9%8A%D8%AF%D9%8A%D9%83%D9%85%D8%A7%D9%84%D9%89%D8%A7%D9%84%D8%AA%D9%87%D9%84%D9%83%D8%A9

[ix] https://www.alukah.net/sharia/0/46736/

Leave a Comment