Berkurban dengan Cicilan – Berkurban saat hari raya Idul Adha dan hari tasyriq merupakan ibadah yang sangat ditekankan untuk dilakukan, bahkan sebagian ulama mewajibkannya bagi yang mampu.
Besarnya pahala menyembelih kurban dan keinginan menghidupkan sunnah Rasulullah ﷺ dan syiar Islam yang agung terkadang membuat sebagian orang yang tidak mampu tetap berusaha untuk bisa berkurban.
Di antara mereka ada yang berhutang dengan cara mencicil pembayaran harga binatang kurbannya karena memang tidak memiliki uang tunai. Tulisan berikut ini mengulas tentang berkurban dengan cara dicicil harga hewan kurbannya.
Apakah Kurban Bisa Dicicil?
Ada sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Markaz Al-Fatwa Qatar yang berada di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih Asy-Syinqityh no fatwa 7198 sebagai berikut:
Apa hukum membeli hewan kurban dengan cara mencicil, padahal dia tahu bahwa menyembelih kurban itu untuk orang yang mampu, tetapi dia ingin melaksanakan sunnah?
Jawab:
Jika seseorang tidak memiliki cukup uang untuk membeli hewan kurban, lalu ia membeli hewan kurbannya dengan mengangsur atau menangguhkan hutang, untuk waktu tertentu, dan berkurban dengannya, hal itu cukup baginya (sah dia lakukan), dan tidak ada dosa baginya.
Bahkan, sebagian ulama menganggap mustahab bagi orang yang tidak memiliki cukup uang agar mengambil pinjaman (berhutang) untuk membeli hewan kurbannya, jika dia tahu bahwa dia mampu melunasi hutangnya.[i]
Bolehkah Kita Berkurban Padahal Kita Masih Punya Hutang Yang Belum Dibayar?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya: Apa hukum berkurban bila masih memiliki hutang yang belum jatuh tempo. Apakah sah atau harus meminta izin kepada orang yang memberi hutang?
Syaikh Utsaimin rahimahullah menjawab, ”Saya tidak berpendapat seseorang harus berkurban padahal dia memiliki hutang kecuali bila hutang tersebut belum jatuh tempo dan dia tahu bahwa dirinya sanggup membayar hutang saat tiba masa pembayaran hutangnya. Bila demikian halnya, maka tidak ada masalah dia berkurban. Kalau tidak demikian keadaannya maka uangnya dipakai untuk membayar hutang tersebut.[ii]
Hutang itu masalah penting. Dahulu Rasulullah ﷺ tidak mau menyolatkan jenazah salah seorang sahabat Anshar yang meninggal dalam keadaan masih menanggung hutang. Beliau ﷺ memerintahkan kepada para sahabat untuk menyolatkan jenazah tadi.
Kemudian ada salah seorang sahabat yang bernama Abu Qatadah menyatakan akan menanggung pembayaran hutang sang mayit. Lalu Rasulullah ﷺ pun bersedia menyolatkannya.
Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟» ، قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟» ، قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ» ، قَالَ: أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ
”Dihadirkan kepada Nabi ﷺ seorang jenazah untuk dishalatkan. Lalu, beliau bertanya, ”Apakah orang ini punya hutang?” Mereka berkata, “Tidak.” Maka, beliau pun menshalatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada beliau, maka beliau bertanya kembali, ”Apakah orang ini punya hutang?” Mereka menjawab, “Ya.” Maka beliau bersabda, “Shalatilah saudaramu ini.” Abu Qatadah berkata, ”Saya yang akan menanggung hutangnya wahai Rasulullah.” Maka Nabi ﷺ pun menshalatkan jenazah tersebut.” [Hadits riwayat Al-Bukhari no. 2295]
Kemudian terdapat pula hadits yang menegaskan bahwa mati syahid dalam jihad di jalan Allah akan menghapus semua dosa kecuali hutang. Kematian syahid tidak menghapus hutang.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu ia berkata,” Rasulullah ﷺ bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ
”Orang yang mati syahid akan diampuni segala dosanya, kecuali hutang.”
[Hadits riwayat Muslim no.1886]
Saat seseorang wafat dan meninggalkan warisan namun masih memiliki hutang maka harta warisan itu dipakai untuk melunasi hutangnya terlebih dahulu baru dibagikan kepada ahli warisnya.
Allah Ta’ala berfirman,
مِن وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ ﴿ ١٢﴾
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. [An-Nisa’: 12]
Rasulullah ﷺ bersabda,
نَفْسُ المُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
”Jiwa (ruh) orang mukmin itu digantung oleh hutangnya sampai hutangnya itu dilunasi.”
[Hadits riwayat Ahmad no. 10599, Ibnu Majah no. 2413, dan Tirmidzi no. 1078, 1079. Hadis ini dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani.]
Jadi hutang bukan perkara ringan. Ini masalah besar di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu bila hendak berhutang untuk berkurban harus diperhatikan betul kemampuannya dalam membayar hutang tersebut agar tidak menjadi beban tambahan yang tidak mampu dia pikul sebab berkurban tidak wajib bagi orang yang tidak memiliki kemampuan berdasarkan kesepakatan para ulama. wallahu a’lam.
[i] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/7198/%D9%87%D9%84-%D9%8A%D8%AC%D9%88%D8%B2-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D9%82%D8%AA%D8%B1%D8%A7%D8%B6-%D9%84%D9%84%D8%A3%D8%B6%D8%AD%D9%8A%D8%A9
[ii] https://binothaimeen.net/content/1210